Rabu, 23 Juli 2008

AGAMA DALAM TANTANGAN DUNIA GLOBAL

Sebuah buku yang berjudul One World Ready or Not: The Manic Logic of Global Capitalism, karya William Greider tahun 1997 yang lalu telah mengisyaratkan bahwa saat ini dunia sudah masuk pada masa dimana tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi dari yang lain (there is no place to hide from the other), masa yang ditandai oleh semangat kapitalisme dengan meningkatnya industrialisasi, informasi dan transformasi. Disamping itu zaman ini juga memaksa kita untuk bertemu satu dengan lainnya dengan terjadinya cross cultural context. Segala bentuk prilaku manusia dapat dengan mudah dinilai orang lain, saling mempengaruhi dan bahkan saling bertukar posisi secara bergantian. Semua aktifitas manusia mempunyai jaringan satu sama lain misalnya jaringan buruh, perdagangan, pendidikan dan kebudayaan.

Era ini juga ditandai oleh dua proses sosial yang paradoks yaitu proses homologisasai dan proses paralogisasi dengan semakin menguatnya kesatuan (increasing unity) disatu pihak namun dipihak lain juga terjadinya penguatan perbedaan (increasing) diversity). Hal itu akan berdampak pada agama dimana orientasi agama yang sebelumnya datang dari sumber yang sangat terbatas, orang tua, keluarga dan lingkungan kita saja sekarang datang dari beragam sumber yang tak terbetas melalui media telekomunikasi dan transformasi yang semakin canggih. Dengan kecangihan sains dan teknologi, manusia bahkan dapat menciptakan jalan kematiannya sendiri yang harus dipilih. Disamping itu manusia semakin dimanjakan dengan produk industrialisasi yang bisa mengisolasikan dirinya dari orang lain karena segala kebutuhannya telah terpenuhi. Manusia menjadi sangat konsumtif dan disetir oleh semagat kapitalisme pasar. Ketergantungan terhadap produk baru sangat besar untuk hanya takut dikatakan sebagi orang yang gak gaul dan kuno. Semua kebutuhan materi telah tercukupi oleh kemudahan-kemudahan yang ditawarkan globalisasi. Yang lebih parah, terjadinya pergeseran ukuran kesuksesan yaitu hanya dinilai dengan kesuksesan ekonomi dan kekuasaan. Hal ini sangat berbeda sekali dengan doktrin agama yang senantiasa harus tetap menjalin hubungan dengan orang lain (silaturahmi) dan menjaga persatuan dan kesatuan.

Agama mempunyai peran yang sangat penting sebagai kekuatan moral untuk menjaga manusia dari kekeringan spiritual zaman modern. Pemanjaan materi akan mengisolasikan manusia dari orang lain yang justru akan menyebabkan depresi sosial yang cukup berat. Agama dapat memenuhi kebutuhan manusia yang sebenarnya tak mungkin diwakili oleh produk-produk kapitalisme, yaitu kebutuhan akan rasa aman, cinta kasih, dan perdamaian. Namun agama juga harus bisa memperbaharui diri untuk selalu sesui dengan zaman, karena beragamnya informasi yang ada akan menuntut agama untuk mengambil sebuah sikap yang terbaik untuk setiap zamannya.

Agama Transformatif

Tentu saja pertemuan dengan berbagai macam sumber dan informasi baik tentang politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan bahkan sumber tentang agama akan mempengaruhi prilaku keagamaan kita. Orang beragama bisa saja menutup diri dari kebiasaan globalisasi dengan mengisolali diri dari oaring lain namun juga bisa membuka diri dan mengambil keuntungan darinya. Agama yang pada mulanya sebagai satu-satunya system yang paling tinggi kemudian berubah menjadi salah satu bagian dari sistem-sistem lainyang ada. Pada mulanya sistem hokum yang ada misalnya diambil dari agama namun saat ini dunia sekuler menawarkan sistem hukumnya sendiri disamping sistem-sistem lainnya.agama yang dulunya menjdi super-sistem kemudian menjadi sub-sistem, sama denga system-sistem yang lainnya.

Tentu saja hal ini meuntut kita untuk melakukan kajian ulang tentang agama untuk menetukan sikap bagaimana menghadapi dunia global ini. Disamping persoalan diatas kenyataan plurlisme agama juga sudah tidak dapat dielakkan lagi. Untuk menghadapi pasar raya perbedaan ini agama harus bisa menjadi kekuatan transformatif yang membawa umatnya kearah yang lebih baik. Artinya pertemuan dengan orang lain tidak lah harus dihindari namun justru harus dihadapi untuk membentuk insight baru tentang kehidupan. Masing-masing agama harus membuka diri untuk saling berkenalan dengan yang lain dan membangun konsep hidup yang lebih baik. Maka transformasi nilai-nilai agama ini tidak hanya dalam konsep dogmatis namun juga dalam bentuk praktis karena selalu berhadapan dengan orang lain. Sehingga yang terjadi adalah munculnya pemahaman yang terus menerus baru seiring dengan bertambahnya interaksi kita dengan kehidupan sosial dan konteks dimana kita berada. Mutual understanding pun akan terjadi. Karena kehidupan ini adalah suatu proses kreatif yang terus menerus yang takkan pernah terhenti. Cara beragama yang transformatif akan mampu melampui sikap absolutisme dan ingin menag sendiri serta kejatuhan pada relativisme (beyond absolutism and relativism).

Maka slogan kembali kepada Al-Quran dan Sunah dalam konteks sekarang misalnya, bukanlah meneruskan tradisi terdahulu (salaf) dalam arti mengidealisasikan tatanan masyarakat Islam saat ini sama dengan tatanan masyarakat Islam zaman dulu namun sebaiknya diartikan sebagai usaha transformasi transendental (transcendental faith) ajaran Islam kedalam bentuk-bentuk budaya suatu masyarakat dimana kita berada (a cultural faith of society). Maka transformasi nilai-nilai agama dalam kehidupan ini mesti melibatkan orang lain karena nilai-nilai agama itu justru akan lebih bermakna jika orang lain bisa melihat dan merasakannya (rahmatan lil alamin).

Paling tidak ada dua hal yang mungkin bisa dikakukan agama untuk mengahadapi tantangan global ini. Pertama, kemungkinan melakukan penafsiran kembali ajaran agama sesuai perkembangan kebudayaan yang ada. Reinterpretasi ini tentu saja dilandasi oleh pemahaman terhadap budaya yang ada agar agama tidak kelihangan dimensi kulturalnya yang kuat. Dengan tidak menghancurkan kebudayaan agama yang telah ada maka bentuk kebudayaan baru yang datang harus disofistikasikan berdasarkan nilai-nilai luhur agama. Kedua, agama dalam proses interaksi terhadap budaya yang baru harus ditempatkan pada posisi sentripetal (centripete) dimana budaya yang telah ada dan budaya baru yang mengelilingi agama akan terserap oleh nilai-nilai dan moralitas agama. Posisi ini lebih menguntungkan dari pada meletakkan agama pada posisi yang dikotomis dan selalu menjaga jarak dari kebudayaan yang baru.. Paling tidak posisi ini akan membuat agama selalu dekat dengan semua bentuk kehidupan manusia tanpa harus kehilangan nilai-nilai religiusnya.

Perlunya Teologi Kontekstual

Teologi sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat agama adalah usaha untuk menyingkapkan kehendak Tuhan yang sebenarnya kepada manuasia. Teologi dalam dunia global mempunyai tugas yang lebih berat karena tidak saja menemukan kembali tradisi agama melainkan juga harus merumuskan kembali tradisi. Perubahan pandangan hidup orang modern menuntut agama untuk tidak saja berbicara pada persoalan kehidupan masa lalu (sejarah agama masa lalu) namun juga merumuskan kembali bentuk kehidupan kita masa depan. Teologi mempunyai peran yang sangat penting sebagai mitra bicara ilmu-ilmu sosial lainnya guna membangun peradaban manusia yang aman damai dan sejahtera.

Maka teologi harus peka terhadap bentuk kehidupan disekitarnya. Kemampuan dialog denga konteks sosial menjadi faktor yang sangat penting. Kita hidup dalam beragamnya agama dan kebudayaan adalah kenyataan. Maka usaha untuk mengarahkan pada dialog yang tebuka layak diperjuangkan yaitu sebagai usaha untuk mencari kebenaran dengan mempertimbangkan nilai-nilai kebenaran orang lain. Kebenaran yang kita anut belumlah menjadi kebenaran yang hakiki sebelum bermanfaat bagi orang lain demikian juga sebaliknya. Dialog terbuka akan nilai masing-masing kebenaran ini akan mampu mengeliminasi bentuk-bentuk sinkritisme yang berusaha melakukan simplifikasi bahwa semua nilai-nilai kebenaran adalah sama dan jatuh pada nihilisme ataupun bentuk proselitisme, yaitu usaha yang membentuk dan memperbesar jarak yang kemudian membentuk pengkutuban satu agama atau kelompok dengan agama atau kelompok lainnya yang rentan dengan konflik dan permusuhan. Sehingga dengan dialog yang terbuka dan jujur ini akan menjadikan manusia lebih kreatif dan bermanfaat bagi yang lain. Kita juga akan melihat setiap kelompok akan melakukan permainannya masing-masing untuk menemukan insight baru tentang kehidupan ini berdasarkan nilai-nilai agama dan moraliatasnya masing-masing. Semakin intens dan dalam permainan itu semakin nikmat dan kreatif serta semakin banyak pengetahuan yang akan didapat dari pertemuannya dengan orang lain. Diaolg yang kreatif ini akan semakin mendekatkan satu dengan yang lainnya dan membangun peradaban bersama yang lebih maju dan berkualitas, One World Ready or Not. Bukankah hidup ini adalah permainan dan senda gurau. Wallahua’lam.

* Penulis adalah alumni Center for Religion and Cross-Cultural Studies UGM

Tidak ada komentar: