Rabu, 13 Agustus 2008

SAINTISME STUDI AGAMA-AGAMA

Abad pencerahan ternyata memberi dampak pada pada kajian2 ilmu sosial..termasuk agama...tunggui ulasan lengkap di Bolg ini

Senin, 28 Juli 2008

Blog Happy Susanto

Berisi pemikiran dan tempat diskusi bersama...

Jumat, 25 Juli 2008

SEKULERISASI DAN AGAMA

Oleh : Happy Susanto


Those who neglect religion in their analyses of contemporary affairs do so at great peril (Peter L. Berger)


Abstract
Secularization is one of the most important movements of the modern West. Its influence and power serve to differentiate it not only from the Middle Ages and more ancient eras, but also to differentiate the West from other cultural regions around the world. Perhaps a better understanding of the history and nature of Secularization will help people understand its role and influence in society today. The concept of the secular is normally conceived as standing in opposition to religion. Many people may not realize that it originally developed within a religious context. Although Secularization can certainly be understood as simply the absence of religion, it is also often treated as a philosophical system with personal, political, cultural, and social implications. Throughout its history, the concept has carried with it a strong connotation of the desire to establish an autonomous political and social sphere which is naturalistic and materialistic, as opposed to a religious realm where the supernatural and faith take precedence.



Istilah sekularisasi memang selalu menarik untuk dibicarakan. Di Indonesia diskursus ini mencuat dan menjadi perbincangan hangat saat isu pembaharuan Islam digulirkan beberapa dekade yang lalu. Namun demikian saat ini orang lebih bisa melihat sekularisasi sebagai praktek sosial dari pada sekedar wacana yang diperbincangkan. Sekularisasi biasanya disamakan dengan sekularisme meski sebenarnya berbeda karena keduanya menawarkan jawaban yang berbeda dari pertanyaan yang dilontarkan masyarakat. Argumentasi sekularisme biasa diperuntukkan pada bidang pengetahuan, nilai, dan tindakan yang tidak bergantung pada otoritas agama dan tidak penting untuk mengeluarkan agama dari otoritasnya dalam persoalan sosial dan politik. Sementara itu sekularisasi adalah proses yang berusaha menyisihkan pertimbangan dan otoritas agama tersebut.
Sekularisasi merupakan anak kandung dari modernisasi yang kemunculannya memiliki proses historis yang panjang. Sebagai suatu istilah, kata sekuler merupakan teks yang terbuka. Sebagai isme tentunya sangat bermakna jamak sama dengan istilah-istilah lainnya. Sekulerisasi sebagai proses maka dapat dilihat dampaknya dalam masyarakat yaitu menurunnya peran agama dalam kehidupan sosial. Maka sekularisasi bagi banyak pihak merupakan ancaman bagi eksistensi agama, meski ada juga yang mengatakan merupakan dampak yang tidak dapat dihindari dari proses modernisasi dunia. Makalah singkat ini mencoba untuk mengurai makna dan proses sekularisasi sebagai istilah yang kompleks dan pengaruhnya bagi agama-agama di dunia.

II. MODERNISASI DUNIA
Modernisasi adalah istilah yang baru untuk proses yang panjang dari perubahan sosial, yaitu perubahan masyarakat yang kurang berkembang yang memiliki ciri-ciri yang biasa menuju masyarakat yang berkembang. Banyak pendapat tentang modernisasi. Ada yang berpendapat modernisasi adalah proses perubahan nilai-nilai, lembaga-lembaga, dan pandangan yang memindahkan masyarakat tradisional kearah industrialisasi dan urbanisasi.
Kautsky Jr menyebutkan bahwa modernisasi adalah proses yang terjadi dalam masyarakat dimana masyarakat mencapai keyakinan terhadap kontrol rasional dan ilmiah lingkungan fisik dan manusia serta diterapkannya teknologi yang sesuai dengan tujuannya. Sedangkan menurut Asaf Hussain modernisasi adalah proses peralihan dari karakteristik masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Karekteristik tersebut adalah, peralihan dari peranan-peranan yang tersebar pada masyarakat tradisional menuju peranan-peranan spesifik, nilai-nilai yang partikularistik berubah menuju nilai-nilai universalistik, orientasi kolektif beralih ke orientasi diri sendiri, dan afektifitas digantikan oleh netralitas afektif.
Aspek-aspek modernisasi yang terjadi dan membawa perubahan bagi masyarakat adalah urbanisasi, industrialisasi, sekularisasi, demokratisasi, pendidikan dan partasipasi media. Sedangkan Robert Bellah menjelaskan bahwa secara struktural moderniasasi mendorong peningkatan dalam kompleksistas, efesiensi, adaptabilitas dan produktifitas. Sedangkan secara ideologis modernisasi mendorong meningkatkan harga diri individu dan haknya sebagai anggota penuh dan sama dalam suatu masyarakat.
Samir Amin, seorang pengamat sosialis menyatakan adanya krisis dalam dunia modern yang ditandai oleh tiga kontradiksi yaitu, pertama, meningkatnya degradasi pekerjaan di dunia Industri, yakni penurunan ketrampilan kerja bersamaan dengan meningkatnya jumlah tenaga kerja. Kedua, kontradiksi berasal dari spesialisasi pekerjaan yang memerlukan keterampilan, dan ketiga, krisis kemanusiaan. Krisis ini muncul dari perubahan kepemilikan dan penguasaan kapital sehingga memunculkan satu kelas yang cenderung menjalankan kontrol bentuk kapital yang semakin terpusat.
Manning Nash, melihat modernisasi dengan cara yang agak berbeda. Menurutnya modernisasi menyangkut pada tiga hal yaitu pertama, terjadinya atribut suatu perkembangan atau perubahan evolusioner. Kedua, dari prespektif sejarah modernisasi adalah proses perubahan dari feodalisme Barat ke masyarakat kapitalis Barat, dan yang ketiga modernisasi merupakan suatu program atau kebijakan elit bagi suatu negara baru.
Kehidupan sosial modern ternyata membawa kontradiksi yang menimbulkan tujuan yang tidak sesuai. Bagi Agama, menurut Bellah, modernitas bukan sekedar sesuatu yang bersifat eksternal yang memerlukan penyesuaian diri atau tidak, karena modernitas mencakup suatu perasaan identitas yang berubah dan suatu cara baru menyikapi gambaran-gambaran yang ada. Di dunia Barat, modernitas muncul tidak hanya dikawasan sains dan teknologi namun juga memasuki inti dari ajaran agama.

III. SEKULERISASI
Bagi Islam modernisasi menyebabkan adopsi atau penerimaan terhadap sistem politik, hukum, dan pendidikan Barat. Sekulerisasi muncul sebagai dampak dari proses yang lebih besar yaitu modernisasi yang berakar pada masa Pencerahan. Istilah ini memang muncul di dunia Barat saat nalar agama (the age of Religion) digantikan oleh nalar akal (the age of Reason). Sekularisasi adalah tantangan untuk memperkecil peran agama, namun proses ini saat ini susah untuk dihindari. Sekularisme adalah peningkatan konsentrasi pada dunia material dari pada dunia spiritual. Bagi masyarakat agama, seperti pada abad pertengahan sasaran utama pada dunia-nanti (other worldly), pada fase kehidupan setelah mati. Sedangkan pada masyarakat sekular, perhatian tertuju pada dunia sekarang atau dunia kini yang biasanya mengarah pada penguasaan benda-benda material.
Bell melihat bahwa masyarakat industri menghasilkan barang barang yang memainkan game against fabricated nature. Dunia ini beralih menjadi dunia teknikal, mekanis dan dirasionalisasikan. Mesin menjadi sangat berkuasa dalam kehidupan. Manusia menjadi binatang yang bekerja. Namun teknologi yang dihasilkan dari modernisasi ini juga berdampak positif seperti memperbaiki komunikasi dan informasi, kemudahan transportasi, terjadinya perubahan sosial, meringankan pekerjaan dan lain sebagainya. Namun Marcuse mengingatkan kita bahwa teknologi ini akan menentukan irama kehidupan kedepan. Menurutnya, kuantifikasi alam yang mengarah kepada eksplikasi dalam struktur matematis telah memisahkan realitas dari semua tujuan yang ada, yang menyebabkan pemisahan rigid yang benar dari yang baik dan ilmu dari etika. Marcuse mengkritik kemajuan sains teknologi telah membawa hilangnya dimensi kemanusian dalam hidup. Manusia hanya dilihat dari satu dimensi saja yaitu sisi kepenuhan kebutuhan materi dan rasionalitas.
Sekularisasi seakan-akan sudah menjadi takdir dalam masyarakat modern. Masyarakat industri modern mengejar pertumbuhan ekonomi terus menerus, sehingga dampak yang terjadi adalah semakin kecilnya peran agama dalam masyarakat. Sekularisasi mengancam eksistensi agama yang menimbulkan dua dampak sekaligus, yaitu runtuhnya agama (etgollerung) dan hilangnya dimensi magis dari kehidupan ini (die entzauberung der welt) yang gejalanya menurut Weber dapat dilihat dalam masyarakat sebagai berikut: pertama, terjadinya pengalihan perhatian dari usaha-usaha agama other worldly kepada dunia ini dan menginvestasikan dunia ini dengan signifikansi positif yang baru. Kedua, bebasnya masyarakat dari ”taman magis” arkaik dan menghilangkan kekudusan dunia yang kemudian dimanipulasi menjadi cara yang tidak berkhayal. Ketiga, sebagai hasil dari pertumbuhan kekayaan dan hedonisme pembangunan yang berhasil maka pengaruh agama mulai merosot.
Proses sekularisasi yang paling ditakuti biasanya adalah jatuh bangunnya komunitas agama, terjadinya perubahan struktur organisasi atau kelembagaan agama, dan perubahan dalam keyakinan, moral dan ritual. Sekularisasi mendapatkan jalan yang terbuka sejak terjadinya Revolusi Industri. Pemerintahan semakin menancapkan fungsinya dalam mengatur kehidupan masyarakat sehingga fungsi keluarga sebagai institusi semakin melemah dan pada tingkat agama semakin lemahnya kontrol terhadap tingkah laku serta semakin luasnya pengetahuan ilmiah.
Berger menyebut pluralisasi sebagai penyebab lemahnya kepercayaan masyarakat dan individu terhadap agama. Secara kelembagaan akan terjadi proses privatisasai agama. Masyarakat yang sudah terlanda pengetahuan ilmiah membuat dikotomi kehidupan sosial menjadi bidang umum dan pribadi sehingga agama berhasil memelihara dirinya sendiri sebagai suatu perwujudan makna pribadi. Maka modernisasi masyarakat akan ditandai oleh kencenderungan dikotomis antara agama dan negara, otonomi ekonomi sebagai lawan norma-norma agama yang lama, terjadinya sekularisasi hukum dan pendidikan umum dan semakin menjauhnya masyarakat dari lembaga agama sebagai pusat kehidupan sosial.
Menurut Berger sekularisasi timbul karena terjadinya kehancuran secara masif plausibilitas definisi realitas keagamaan tradisional. Sekularisasi memanifestasikan dirinya dalam kesadaran seseorang (sekularisasi subyektif) yang berhubungan pada tingkat struktur sosial dalam masyarakat (sekularisasi obyektif). Secara subyektif manusia mengalami ketidakpastian dalam masalah keagamaan dan secara obyektif manusia dipertentangkan dengan berbagai variasi keagamaan dan badan-badan penentu realitas yang lain. Sekuralisasi dalam msyarakat industri seperti ini merupakan proses yang takterelakkan yang selalu dikaitkan dengan pengetahuan ilmiah, teknologi dan ekonomi.
Beberapa negara industri di Barat meskipun mengambil bentuk organisasi sosialis yang melawan kapitalis sebenarnya adalah faktor pendorong kearah sekularisasi. Masyarakat industri dengan legitimasi ideologis yang berbeda-beda berfungsi hanya sebagai modifikasi proses sekularisasi global. Hal ini sama juga dengan propaganda anti-agama dan tindakan represif rezim Marxis yang sebenarnya secara alamiah mempengaruhi proses sekularisasi. Di India, sekularisasi mengambil bentuknya melaui pengeliminasian agama baik sebagai bentuk kriteria pertimbangan ataupun sebagai sumber inspirasi dan yang mendorong manusia memenuhi kepentingannya sendiri.
Berger menambahkan, sekularisasi merupakan satu bagian integral dari proses ekonomi modern yang bersumber pada peradaban Barat, yaitu kapitalisme industri. Dengan sekularisasi bagian-bagian masyarakat dan budaya dijauhkan dari dominasi lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan. Dalam sejarah Barat modern, sekularisasi menemukan bentuknya melalui pengosongan pengaruh atau kontrol Gereja, yaitu melalui bentuk pemisahan gereja, atau emansipasi pendidikan dari otoritas eklesiastikal. Sementara itu jika ditinjau dari kebudayaan dan simbol-simbol, maka sekularisasi bukan sekedar proses struktural kemasyarakatan, namun sekularisasi sangat mempengaruhi seluruh kehidupan budaya dan ideasi, yang hal ini dapat ditelusuri dalam runtuhnya muatan keagamaan pada kesenian, filsafat, sastra dan yang paling fundamentalnya adalah bangkitnya ilmu sebagai suatu hal yang otonom.

IV. DILEMA AGAMA
Institusi yang paling besar mendapatkan dampaknya dari proses modernisasi dan sekularisasi ini adalah agama. Disatu sisi agama harus tetap memegangi doktrin yang selama ini menjadi ruh kehidupannya untuk menjaga skaralitasnya namun di sisi lain tuntutan kehidupan baru manusia yang meliputi ekonomi, pendidikan, kebudayaan dan sebagainya membutuhkan pertimbangan yang berbeda. Modernisme menawarkan pertimbangan-pertimbangan baru dalam menentukan keputusan masyarakat. Isme-isme besar seperti humanisme dan saintisme muncul menggeser otonomi agama. Bahkan pengamat seperti Bell menyebutkan bahwa agama bukanlah kebutuhan fungsional masyarakat, artinya tanpa agama masyarakat tetap akan berdiri. Agama di Barat, tegasnya hanya memiliki dua fungsi yaitu sebagai penjaga pintu kejahatan dan memeberikan kontinuitas dengan masa lalu. Bell menyebutkan modernisme sebagai suatu gerakan agama yang melanggar agama yang mengalihkan otoritas yang suci kepada yang profan.
Dalam dunia Islam, Esposito menjelaskan bahwa pelaksanaan modernisasi membawa pada pengadopsian sistem politik, hukum dan pendidikan Barat yang sebenarnya dalam berbagai aspeknya belum tentu sesuai dengan ide-ide dan nilai-nilai Islam tentang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Beberapa negara Islam mencoba merubah ideologi dan sistem pemerintahannya mengikuti Barat. Hal yang paling besar terjadi di dunia Islam adalah ketergantungan yang besar terhadap perekonomian dan sistem pendidikan. Kompleksitas modernisasi ini selalu berkaitan dengan masalah moral dan agama. Disatu pihak modernisasi dibanggakan karena mampu menciptakan nilai dan makna, namun ia juga ditakuti sebagai ancaman terhadap pola nilai dan makna yang telah ada.
Pada akhir abad ke –20 yang lalu dua orang futurolog yaitu Naisbit dan Aburdene masih yakin agama akan mengalami kebangkitan dan tetap menjadi pegangan masyarakat, namun afinitas agama mengalami perubahan. Kebangkitan agama ini akan muncul dalam bentuk lain seiring dengan perubahan yang terjadi di dunia. Gereja yang besar menjadi tidak menarik di Barat kecuali dalam era yang stabil. Kemunculan Era Baru (new Age) ini membawa pada gerakan kesadaran manusia yang kompleks tentang keesaan ciptaan, spiritualitas, kesadaran akan potensi manusia yang tak terbatas dan kesadaran untuk mengubah diri kearah yang lebih baik. Maka pada era tersebut munculah istilah spirituality yes, organized religion no.
Agama pada abad ke-21 akan terus berpacu dengan modernisasi sebagai tantangan yang sangat besar. Agama dihadapkan pada realitas masyarakat yang makin rasional yang bisa saja mengancam kelangsungan agama yang terlalu banyak dimuati oleh doktrin-doktrin, yang oleh orang modern dianggap tidak rasional. Secara internal rigiditas doktrin agama akan menjauhkan pemeluknya dalam mengadakan penyesuaian terhadap dinamika hidupnya. Bisa saja ini terjadi karena tidak dimungkinkannya pemahaman segar terhadap doktrin tersebut ataupun para pemeluk agama itu sendiri yang mengalami ketakutan untuk melakukan penyusaian karena dianggap bukan wilayah pemikiran manusia. Akibatnya pesona agama sedikit demi sedikit akan menurun digantikan modernisasi yang terus berkembang.
Sementara itu secara eksternal, kehidupan modern ditandai munculnya gaya hidup baru dan asing yang tidak begitu bersahabat dengan agama. Modernisasi yang melanda masyarakat akan membawa pada kehidupan yang mengutamakan benda, proses individuasi semakin kuat, lemahnya solidaritas, krisis ekologi yang semakin parah dan terjadinya relativisasi nilai-nilai yang sangat merendahkan nilai ajaran agama. Kondisi ini akan menjadikan agama hanya sebagai ajaran moral dan juga menurunkan kadar fanatisme keberagamaan seseorang. Agama kemudian menjadi bukan satu-satunya panutan yang absolut.
Modernisasi memang bisa membebaskan manusia dari dogmatisme dan otoritas tradisional termasuk mengurangi peran agama terutama dalam bidang politik. Padahal dalam sejarah dan keyakinan Islam, Esposito menjelaskan bahwa agama Islam menempati posisi sentral dalam kehidupan masyarakat, yaitu sebagai ideologi negara yang didalamnya terdapat lembaga-lembaga negara. Agama Islam juga memiliki peran yang besar dalam bidang politik yang secara ideologis menjadikan umat Islam menjadi satu negara atau kerajaan, sebuah religiopolitikal yang besar dan utuh.
Dengan hadirnya modernisasi memunculkan ideologi-ideologi nasionalisme, demokrasi, komunisme dan sosialisme sebagai ancaman bagi Islam. Dalam bidang politik, sekularisasi membawa pada tidak adanya keyakinan yang dapat terus dipertahankan sehingga akan terlihat agama semakin jauh dan tidak memiliki kontribusi bagi proses politik yang ada. Depolitisasi agama ini merupakan suatu mitos sentral dalam proyek modernisasi sosial.
Namun demikian munculnya modernisasi dan sekularisasi ini juga membawa resistensi tersendiri. Berger yang dulunya pesimis akan masa depan agama dalam abad ini kemudian merubah posisinya. Ia melihat adanya proses yang bertolak belakang dengan sekularisasi dengan muncul banyaknya perlawan terhadap ideologi-ideologi baru diatas dan penolakan yang tegas terhadap sekularisasi. Proses desekularisasi ini akan menandai bangkitnya agama-agama di dunia. Jadi bahwa agama akan menjadi korban dari rasionalisasi, modernisasi dan sekularisasi tidak sepenuhnya benar. Justru yang terjadi sebaliknya munculnya perkembangan yang dramatis dari gerakan-gerakan keagamaan dan primordial di seluruh dunia. Hal ini juga menepis anggapan kalangan postmodernis yang mengira akan runtuhnya narasi-narasi besar (grand narrative) dan ambruknya hubungan-hubungan normatis dalam kehidupan ini.
Desekularisasi yang ditandai oleh kebangkitan agama Islam di Timur Tengah, sebagian Asia tenggara dan bekas Uni Soviet membantah anggapan bahwa dunia ini telah tersekularkan. Selain itu gerakan agama baru di Afrika dan Jepang, merebaknya evangelisme, revavilisme dan fundamentalisme Kristen, Budha dan Hindu semakin menegaskan bahwa proses desekularisasi juga terjadi. Kebangkitan agama ini menemukan bentuknya dengan caranya yang berbeda-beda. Ada yang menolak modernisasi dengan menegaskan sebagai gerakan fundemantalis ataupun yang pro-modern dengan mendukung kapitalisme seperti Calvinisme di Protestan.

V. PENUTUP
Modernisasi yang membawa isme-isme besar seperti sekularisme, humanisme, kapitalisme dan saintisme telah menjadi narasi-narasi besar yang menggantikan agama dan keyakinan tradisional yang ada. Modernisasi ternyata membawa pesonanya sendiri yang bisa saja mengurangi pesona agama sebagai keyakinan dan dasar pertimbangan manusia. Proses sekularisasi yang berjalan ternyata pada saat yang sama juga dimbangi dengan proses desekularisasi meski porsinya mungkin berbeda. Maka saat ini persoalan yang sangat penting sebenarnya adalah seberapa jauh kesiapan agama untuk berkompetisi dengan berbagai aliran pemikiran yang muncul di dalam masyarakat. Bagaimana agama dapat mengaktualisasikan perannya dalam keseimbangan antara kepentingan duniawi dan akhirat.






DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Imtiaz, (ed.), 1983, Modernization and Social Change Among Muslims in India, New Delhi, Manohar
Amin, Samir, 1991, Imperialism and Unequal Development, New York, Monthly Review Press,
Bell, Daniel, 1978, The Cultural Contradiction of Capitalism, New York, Basic Book. Inc.,
Bellah, Robert, ed., 1965, Religion and Progress in Modern Asia, New York, The Free Press,
_________, 2000, Beyond Belief: Esa-esai Agama di dunia Modern, Jakarta, Paramadina
Berger, Peter L., 1988, Pluralitas Dunia Kehidupan Sosial, dalam Hans D. Evers (ed.), Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Jakarta, YOI
_________, 1969, the Social Reality of Religion, London, Faber and Faber
_________,1999, The Desecularization of the World: Resurgent Religion and World Politics, Washington, Ethic and Public Policy Center
Davis, W., 1987, Religion and Development: Weber and the East Asian Experience, dalam M. Weiner and S.P. Huntington (ed. ), Understanding Political Development, Boston, Littele Brown and Compagny
Esposito, John L. , ed., 1987, Islam in Asia, Religion, Politics and Society, Oxford, Oxford University Press
Husain, Asaf, 1984, Political Perspective in the Muslim World, London, Mac-Millan
Lerner, Daniel, 1968, InternationalEncyclopedia of Social Sciences, vol 9-10, New York, The Macmillan and The Free Press
Marcuse, Herbert, 1966, One Dimensional Man, Boston, Beacon Press
Nash, Maning , 1977, Modernization: Cultural Meaning: the Widening Gap between the Intellectual and the Process, dalam Economic Development and Cultural Change, Vol. 25
Naisbit, John, and Patricia Aburdene, 1990, Megatrends 2000, New York, Avon Book
Rajaee, Farhang 1986, What is to be done the Enlightened Thinkers and Islamic Renaisance, Houston, IRIS

@ tulisan ini pernah dimuat dalam jurnal tsaqofah Isid Gontor 2007

ILMU BARAT VERSUS IlMU ISLAM

Diolah dari berbagai sumber.
  • Judul diatas sebenarnya secara bahasa mungkin kurang relevan karena lawan dari Barat adalah Timur. Namun kata Barat kemudian menjadi konsep tersendiri (ikon) bagi kemajuan keilmuan maka bisa saja dilawankan dengan model keilmuan yag berbeda, dalam hal ini Islam.
  • Dari sumber munculnya sebuah ilmu memang terdapat perbedaan. Barat biasanya bersumber pada akal yang melahirkan persepsi inderawi dan rasionalitas yang spekulatif. Disinilah kemudian realitas dikonstruksi. Sementara dalam Islam wahyu dan akal sebagai sumber ilmu. Hasil akal yang spekulatif kemudian dipadukan dengan ilmu ilahi yang bersifat pasti.
  • Realitas bagi dunia Barat dibatasi pada alam dunia saja yang kemudian melahirkan empirisisme dan antroposentrisme. Sementara bagi Islam realitas bukan saja hal yang terlihat mata namun juga yang tidak kasat mata. Alam ini bersifat relatif yang semua wujudnya tergantung pada Tuhan. Dalam Islam untuk mengetahui hakekat realitas tidak cukup hanya dengan apa yang ditangkap oleh panca indera dan rasio (kerja akal) semata namun didukung oleh wahyu.
  • Perbedaan inilah yang kemudian menjadi dasar perbedaan ontologi dan epistimologi serta aksiologinya.
  • Pada sisi ontologi, Barat modern hanya menjadikan alam ini sebagai objek kajian dalam sains, yang mereka hanya membatasi akal dan panca indra (empiris) sebagai epistemologinya. Hal itu tidaklah ganjil mengingat perkembangan ilmu dan dinamisasi peradaban di Barat bergeser dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya. Sebagai contoh sejarah pertentangan antara gerejawan dengan ilmuan; pertikaian yang melibatkan pemuka agama Kristen dengan para saintis di Eropa pada Abad Pertengahan (Dark Age) telah melahirkan desakan pencerahan pemikiran yang dikenal dengan Renaissance/Enlightenment/Aufklarung, masing-masing di Italia, Prancis, Inggris dan Jerman.
  • Barat modern meninggalkan agama yang dianggap sebagai penghambat kemajuan dunia. Inilah pergeseran dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya, yang kemudian melahirkan berbagai aliran seperti eksistensialisme, materialisme, ateisme, empirisme, rasionalisme, kapitalisme, liberalisme, sosialisme, humanisme, relativisme, agnostisme.
  • Dalam keilmuan Islam untuk mengetahui hakekat realitas tidaklah cukup dengan menggunakan panca indra dan akal saja, tetapi ada tetapi ada dua unsur lain yang harus dipertimbangkan, Wahyu dan intuisi.
  • Barat melihat wujud alam ini sebagai materi (physic), yang hanya akal dan panca indra saja sebagai landasan epistemologinya. Sedangkan perspektif keilmuan dalam Islam mementingkan kedua alam: ‘alam ghayb (metaphysic) dan ‘alam syahadah (physic), serta menerima wahyu sebagai sumber ilmu tentang kedua alam itu.
  • Namun demikian, peradaban Barat oleh sebagian masyarakat dunia Islam dianggap lebih mapan dan layak diadopsi. Hal inilah yang membuat beberapa pemikir Islam mencoba merumuskan konsep bagaimana membangkitkan keilmuan Islam menjadi keilmuan yang menarik dan untuk mendorong kebangkitan keilmuan Islam. Misalnya munculnya gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
  • Gerakan ini tidak ingin menjadi gerakan apologetik Islam yaitu bahwa semua Ilmu itu sudah ada dalam Islam, tidak pula memberikan “baju” pada keilmuan Barat (seperti psikologi Islam, ekonomi Islam, dll) dengan mengutip beberapa ayat Al-Quran dan Hadist, namun lebih kepada pembongkaran konsep ontologi, epistimologi dan aksiologi dalam pengetahuan.
  • Usaha lain dari pemikir Islam adalah melakukan kajian oksidentalisme. Hal ini pernah disuarakan oleh Hasan Hanafi yang mencoba mengakhiri mitos Barat sebagai representasi seluruh umat manusia dan sebagai pusat kekuatan. Oksidentalisme juga berusaha meluruskan sentrisme Eropa untuk kemudian melakukan penulisan ulang sejarah dunia dengan kacamata yang lebih obyektif dan netral dan bersikap adil terhadap andil seluruh peradaban manusia dalam sejarah dunia.
  • Maka dari itu saya melihat adanya perbedaan yang tajam dari para pemikir Islam dan Barat. Para pemikir Islam, dengan menggunakan segala kemampuan yang dimiliki mampu menciptakan teori ataupun konsep yang ia tidak perlu keluar dari Islam. Artinya meskipun ia mengadopsi berbagai macam faham dari Barat, namun ia tetap seorang Muslim. Sementara para pemikir Barat, memiliki kenyataan yang berbeda, karena ia mempertahankan ajaran materialisme maka ia berubah menjadi ateis, karena memprthankan psikoanalisa ia bisa menjadi anti-Tuhan, dan yang paling tragis ketika Nietzsche mengukuhkan eksistensinya sebagai manusia ia terjebak pada nihilisme dan berseru “Tuhan telah mati”.
  • Selamat berdiskusi......

happy susanto blog

mudah-mudahan tulisan yang ada disini bermanfaat...

Rabu, 23 Juli 2008

AGAMA DALAM TANTANGAN DUNIA GLOBAL

Sebuah buku yang berjudul One World Ready or Not: The Manic Logic of Global Capitalism, karya William Greider tahun 1997 yang lalu telah mengisyaratkan bahwa saat ini dunia sudah masuk pada masa dimana tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi dari yang lain (there is no place to hide from the other), masa yang ditandai oleh semangat kapitalisme dengan meningkatnya industrialisasi, informasi dan transformasi. Disamping itu zaman ini juga memaksa kita untuk bertemu satu dengan lainnya dengan terjadinya cross cultural context. Segala bentuk prilaku manusia dapat dengan mudah dinilai orang lain, saling mempengaruhi dan bahkan saling bertukar posisi secara bergantian. Semua aktifitas manusia mempunyai jaringan satu sama lain misalnya jaringan buruh, perdagangan, pendidikan dan kebudayaan.

Era ini juga ditandai oleh dua proses sosial yang paradoks yaitu proses homologisasai dan proses paralogisasi dengan semakin menguatnya kesatuan (increasing unity) disatu pihak namun dipihak lain juga terjadinya penguatan perbedaan (increasing) diversity). Hal itu akan berdampak pada agama dimana orientasi agama yang sebelumnya datang dari sumber yang sangat terbatas, orang tua, keluarga dan lingkungan kita saja sekarang datang dari beragam sumber yang tak terbetas melalui media telekomunikasi dan transformasi yang semakin canggih. Dengan kecangihan sains dan teknologi, manusia bahkan dapat menciptakan jalan kematiannya sendiri yang harus dipilih. Disamping itu manusia semakin dimanjakan dengan produk industrialisasi yang bisa mengisolasikan dirinya dari orang lain karena segala kebutuhannya telah terpenuhi. Manusia menjadi sangat konsumtif dan disetir oleh semagat kapitalisme pasar. Ketergantungan terhadap produk baru sangat besar untuk hanya takut dikatakan sebagi orang yang gak gaul dan kuno. Semua kebutuhan materi telah tercukupi oleh kemudahan-kemudahan yang ditawarkan globalisasi. Yang lebih parah, terjadinya pergeseran ukuran kesuksesan yaitu hanya dinilai dengan kesuksesan ekonomi dan kekuasaan. Hal ini sangat berbeda sekali dengan doktrin agama yang senantiasa harus tetap menjalin hubungan dengan orang lain (silaturahmi) dan menjaga persatuan dan kesatuan.

Agama mempunyai peran yang sangat penting sebagai kekuatan moral untuk menjaga manusia dari kekeringan spiritual zaman modern. Pemanjaan materi akan mengisolasikan manusia dari orang lain yang justru akan menyebabkan depresi sosial yang cukup berat. Agama dapat memenuhi kebutuhan manusia yang sebenarnya tak mungkin diwakili oleh produk-produk kapitalisme, yaitu kebutuhan akan rasa aman, cinta kasih, dan perdamaian. Namun agama juga harus bisa memperbaharui diri untuk selalu sesui dengan zaman, karena beragamnya informasi yang ada akan menuntut agama untuk mengambil sebuah sikap yang terbaik untuk setiap zamannya.

Agama Transformatif

Tentu saja pertemuan dengan berbagai macam sumber dan informasi baik tentang politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan bahkan sumber tentang agama akan mempengaruhi prilaku keagamaan kita. Orang beragama bisa saja menutup diri dari kebiasaan globalisasi dengan mengisolali diri dari oaring lain namun juga bisa membuka diri dan mengambil keuntungan darinya. Agama yang pada mulanya sebagai satu-satunya system yang paling tinggi kemudian berubah menjadi salah satu bagian dari sistem-sistem lainyang ada. Pada mulanya sistem hokum yang ada misalnya diambil dari agama namun saat ini dunia sekuler menawarkan sistem hukumnya sendiri disamping sistem-sistem lainnya.agama yang dulunya menjdi super-sistem kemudian menjadi sub-sistem, sama denga system-sistem yang lainnya.

Tentu saja hal ini meuntut kita untuk melakukan kajian ulang tentang agama untuk menetukan sikap bagaimana menghadapi dunia global ini. Disamping persoalan diatas kenyataan plurlisme agama juga sudah tidak dapat dielakkan lagi. Untuk menghadapi pasar raya perbedaan ini agama harus bisa menjadi kekuatan transformatif yang membawa umatnya kearah yang lebih baik. Artinya pertemuan dengan orang lain tidak lah harus dihindari namun justru harus dihadapi untuk membentuk insight baru tentang kehidupan. Masing-masing agama harus membuka diri untuk saling berkenalan dengan yang lain dan membangun konsep hidup yang lebih baik. Maka transformasi nilai-nilai agama ini tidak hanya dalam konsep dogmatis namun juga dalam bentuk praktis karena selalu berhadapan dengan orang lain. Sehingga yang terjadi adalah munculnya pemahaman yang terus menerus baru seiring dengan bertambahnya interaksi kita dengan kehidupan sosial dan konteks dimana kita berada. Mutual understanding pun akan terjadi. Karena kehidupan ini adalah suatu proses kreatif yang terus menerus yang takkan pernah terhenti. Cara beragama yang transformatif akan mampu melampui sikap absolutisme dan ingin menag sendiri serta kejatuhan pada relativisme (beyond absolutism and relativism).

Maka slogan kembali kepada Al-Quran dan Sunah dalam konteks sekarang misalnya, bukanlah meneruskan tradisi terdahulu (salaf) dalam arti mengidealisasikan tatanan masyarakat Islam saat ini sama dengan tatanan masyarakat Islam zaman dulu namun sebaiknya diartikan sebagai usaha transformasi transendental (transcendental faith) ajaran Islam kedalam bentuk-bentuk budaya suatu masyarakat dimana kita berada (a cultural faith of society). Maka transformasi nilai-nilai agama dalam kehidupan ini mesti melibatkan orang lain karena nilai-nilai agama itu justru akan lebih bermakna jika orang lain bisa melihat dan merasakannya (rahmatan lil alamin).

Paling tidak ada dua hal yang mungkin bisa dikakukan agama untuk mengahadapi tantangan global ini. Pertama, kemungkinan melakukan penafsiran kembali ajaran agama sesuai perkembangan kebudayaan yang ada. Reinterpretasi ini tentu saja dilandasi oleh pemahaman terhadap budaya yang ada agar agama tidak kelihangan dimensi kulturalnya yang kuat. Dengan tidak menghancurkan kebudayaan agama yang telah ada maka bentuk kebudayaan baru yang datang harus disofistikasikan berdasarkan nilai-nilai luhur agama. Kedua, agama dalam proses interaksi terhadap budaya yang baru harus ditempatkan pada posisi sentripetal (centripete) dimana budaya yang telah ada dan budaya baru yang mengelilingi agama akan terserap oleh nilai-nilai dan moralitas agama. Posisi ini lebih menguntungkan dari pada meletakkan agama pada posisi yang dikotomis dan selalu menjaga jarak dari kebudayaan yang baru.. Paling tidak posisi ini akan membuat agama selalu dekat dengan semua bentuk kehidupan manusia tanpa harus kehilangan nilai-nilai religiusnya.

Perlunya Teologi Kontekstual

Teologi sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat agama adalah usaha untuk menyingkapkan kehendak Tuhan yang sebenarnya kepada manuasia. Teologi dalam dunia global mempunyai tugas yang lebih berat karena tidak saja menemukan kembali tradisi agama melainkan juga harus merumuskan kembali tradisi. Perubahan pandangan hidup orang modern menuntut agama untuk tidak saja berbicara pada persoalan kehidupan masa lalu (sejarah agama masa lalu) namun juga merumuskan kembali bentuk kehidupan kita masa depan. Teologi mempunyai peran yang sangat penting sebagai mitra bicara ilmu-ilmu sosial lainnya guna membangun peradaban manusia yang aman damai dan sejahtera.

Maka teologi harus peka terhadap bentuk kehidupan disekitarnya. Kemampuan dialog denga konteks sosial menjadi faktor yang sangat penting. Kita hidup dalam beragamnya agama dan kebudayaan adalah kenyataan. Maka usaha untuk mengarahkan pada dialog yang tebuka layak diperjuangkan yaitu sebagai usaha untuk mencari kebenaran dengan mempertimbangkan nilai-nilai kebenaran orang lain. Kebenaran yang kita anut belumlah menjadi kebenaran yang hakiki sebelum bermanfaat bagi orang lain demikian juga sebaliknya. Dialog terbuka akan nilai masing-masing kebenaran ini akan mampu mengeliminasi bentuk-bentuk sinkritisme yang berusaha melakukan simplifikasi bahwa semua nilai-nilai kebenaran adalah sama dan jatuh pada nihilisme ataupun bentuk proselitisme, yaitu usaha yang membentuk dan memperbesar jarak yang kemudian membentuk pengkutuban satu agama atau kelompok dengan agama atau kelompok lainnya yang rentan dengan konflik dan permusuhan. Sehingga dengan dialog yang terbuka dan jujur ini akan menjadikan manusia lebih kreatif dan bermanfaat bagi yang lain. Kita juga akan melihat setiap kelompok akan melakukan permainannya masing-masing untuk menemukan insight baru tentang kehidupan ini berdasarkan nilai-nilai agama dan moraliatasnya masing-masing. Semakin intens dan dalam permainan itu semakin nikmat dan kreatif serta semakin banyak pengetahuan yang akan didapat dari pertemuannya dengan orang lain. Diaolg yang kreatif ini akan semakin mendekatkan satu dengan yang lainnya dan membangun peradaban bersama yang lebih maju dan berkualitas, One World Ready or Not. Bukankah hidup ini adalah permainan dan senda gurau. Wallahua’lam.

* Penulis adalah alumni Center for Religion and Cross-Cultural Studies UGM